Rabu, 04 Mei 2016

Review Buku : Tindakan Kecil Perlawanan





Judul Buku  : Small Acts  of Resistance : How Courage , Tenacity,  can change the World
Penulis         : Steve Crawshas dan John Jackson
Penerjemah  : Rome Topatimasang
Penerbit        : INSISTPress
Tahun           : 2015
Tebal            : 261 h + xiv
Rassela Malinda

Tidak jarang selama berdemonstrasi, kita acap kali meneriakkan : Boikot, Boikot, Boikot!, Tapi mungkin kita tidak pernah bertanya, bagaimana sebuah konsep perlawanan bisa diasosisikan dengan kata boikot.
Boycot adalah nama seorang kapten Charles Cunningham Boycott, seorang kaki tangan tuan tanah  Lord Erne di sebuah kecamatan bernama Mayo, bagian Barat daratan Irlandia yang dikuasai oleh Inggris. Pada tanggal 23 September 1880, para penggerap lahan yang berada dibawah pengawasan Boycott melawan dan memprotes harga sewa dan pencaplokan lahan yang dilakukan secara tidak adil. Mereka melakukan mogok kerja, alhasil Boycott dan keluarga harus mengurusi segalanya sendiri, dari mulai memerah susu sampai memasang sendiri sepatu kuda-kuda mereka. Para tukang pos berhenti mengantarkan surat, penjaga toko menolak melayani boycott dan keluarga yang ingin berbelanja dan pada akhirnya semua orang mengucilkan mereka.  Pada saat itu , penggerak aksi mogok ,James Redpath tidak dapat menemukan satu kata yang tepat untuk menyebut bentuk ketidakpatuhan yang masif dan kompak itu. Maka atas nasihat seorang pastor yang bersimpati Romo John O’Malley menyarankan untuk menyebut feomena ini dengan ‘ mem-Boycott-nya’.  Maka, hingga hari ini, semua orang diseluruh dunia latah menyebutkan setiap jenis ‘ketidakpatuhan’ akan aturan-aturan yang mengekang dan tidak adil sebagai aksi mem-boikot.
Kisah boikot hanya salah satu dari 80 kisah yang terdapat dalam buku ini : Tindakan-Tindakan kecil perlawanan.  Kumpulan kisah-kisah dari seluruh belahan dunia, yang menggambarkan sebuah tekat dan perjalanan menemukan kemanusiaan, yang semuanya tergambarkan pada satu kata : Perlawanan. Sebenarnya ada sedikit keraguan untuk menyebut kesatuan kisah dalam buku ini sebagai ‘tindakan kecil’, saya sebagai pembaca acap kali merasakan perubahan emosi yang drastis, dari sedih, kecewa, marah hingga terkagum-kagum akan keberanian orang-orang yang dimunculkan dalam buku ini. Bayangkan bagaimana sebuah kereta bayi dapat menjadi simbol perlawanan atas dominasi berita yang dilakukan oleh Rezim Komunis Polandia. Atau aksi masa mencuci bendera yang dikenal dengan istilah ‘lava la bendera’, yang dilakukan oleh ribuan orang di Peru pada tahun 2000, demi untuk menunjukkan perlawanan atas kediktatoran Alberto Fujimori. Masih banyak lagi kisah-kisah lainnya yang menampilkan keberanian besar dari orang-orang yang mungkin namanya tidak tercatat dalam narasi besar. Namun memberikan angin segar bagi diskursus mengenai perlawanan sipil.   
Buku ini terdiri dari 80 kisah nyata perlawanan yang dimulai dari orang, kumpulan orang, kelompok maupun kumpulan kelompok dari hampir seluruh belahan dunia. Setiap ceritanya ingin menunjukkan bahwa banyak perubahan besar yang terjadi di dunia justru dimulai dari tindakan-tindakan kecil yang pada awalnya mungkin terlihat amat sepele atau bahkan tidak ada apa-apanya, namun setelah dilakukan dengan keyakinan dan rasa kemanusiaan, maka dampak yang dibawanya sungguh menakjubkan.
80 kisah tadi dikelompokkan kedalam 15 sub-bab : Kekuatan orang banyak, Mengecoh maksud sebenarnya, memanfaatkan peluang olahraga, mengelabui lembaga sensor, menjegal para rampok suara, perempuan bilang’tidak’, jika tidak sekarag ‘kapan?’, membongkar rahasia, kehidupan pribadi dampak publik, mengerahkan para saksi, mengorganisir kesenian, demi tegaknya hukum, ketika tembok kokoh roboh, kekuatan satu orag dan Pembangkangan digital. Semua kisah tadi meramu sebuah keyakinan bahwa perlawanan rakyat sampai kapanpun akan terus hadir selama ketidakadilan ada.
Yang unik dari buku ini adalah edisi bahasa Indonesia nya diterjemahkan oleh seorang pengorganisir rakyat : Rome Topatimasang. Pengalaman Roem melakukan pengorganisiran dan pendidikan kerakyatan di seluruh antero nusantara selama hampir dalam kurun waktu 30 tahun, membuat saya sebagai pembaca merasakan bahwa setiap kata yang ia pilih sebagai bagian dari penerjemahan adalah bahasa-bahasa perlawanan. Ia mampu membuat buku ini, begitu ringan untuk dipahami substansi setiap ceritanya.
Satu bab yang paling menarik perhatian saya tentu saja adalah bab ‘Perempuan bilang tidak’. Kisah-kisah didalamnya menunjukkan bagaimana perempuan melakukan perlawanan dengan apapun, bahkan dengan ketubuhan mereka. Di Sudan bagian selatan misalnya, perempuan-perempuan disana  melancarkan aksi sexual abandoning (Penelantaran seksual), demi untuk menekan suami-suami mereka agar mau berunding dan menghentikan perang saudara yang sudah terjadi selama dua puluh tahun antara kawasan selatan dan kawasan utara, bahkan pemimpin gerakan tersebut-Samira Ahmed, juga berhasil membujuk para pekerja seks untuk tidak memberikan akses layanan seksual selama aksi terjadi. Alhasil  akibat kampanye ini, para laki-laki disana menyerah dan mau melakukan perundingan untuk berdamai. Di Kenya, terjadi perlawanan yang serupa sex strike , untuk mendesak perdamaian antara dua kubu politik terbesar disana , yaitu Perdana menteri Raile Odinga dan Presiden Mwai Kibaki. Gerakan ini sempat menuai protes dari kalangan laki-laki, James Kimondo berencana ingin menuntut organisasi perempuan yang menggawangi aksi ini, dia manyatakan bahwa sex strike sudah menyebabkan tekanan mental, sakit punggung dan kegelisahan yang luar biasa bagi para laki-laki. Kaum perempuan tentu saja bukan menganggap sex sebagai sesuatu yang tidak penting, namun justru karna mereka menyadari bahwa sex adalah penting, dan tidak memandang kepentingan politik, agama, suku, maupun ras, sehingga sex adalah kekuatan. Maka menahan untuk tidak melakukan sesuatu yang fitrah adalah jua bentuk jihad untuk sebuah tujuan mulia.
Buku ini sangat menarik untuk dibaca, terutama bagi kalangan anak muda yang kadang terjebak dalam romantisme gerakan-gerakan besar, yang sifatnya melulu soal massa dan kuantitasnya. Buku ini mengajak kita melihat lebih lekat, bentuk-bentuk perlawanan yang sangat patut untuk diilhami dan dijadikan panutan dalam metode perjuangan.



Review Buku : Panggilan Tanah Air





Judul Buku      : Panggilan Tanah Air
Penulis             : Noer Fauzi Rahman
Penerbit           : Prakarsa Desa
Tahun              : 2015
Tebal               : 122 h + xx

            Porak poranda adalah frasa yang pembaca akan banyak temui dalam buku ini, sebuah frasa yang paling tepat menggambarkan kondisi Tanah air Kekinian. Istilah yang menurut saya semacam buah pemikiran  dari perjalanan panjang Noer Fauzi sebagai Aktivis Agraria dan pendidik rakyat. Melalui ‘porak poranda’ ini , kita tida hanya diajak meratapi nasib ke-porak-poranda-an itu sendiri, melainkan panggilan paling hakiki untuk menjadi pandu tanah air.
            Buku yang tidak terlau tebal ini, begitu nyaman untuk dibaca oleh para pemula yang ingin mendalami isu agraria dan segala macam efek yang ditimbulkannya. Saat membaca ini, ada emosi intim yang terbangun, Penulis mampu memposisikan pembaca pun sebagai pengamat atau bahkan korban dari segala proses perubahan reorganisasi ruang. Gaya Bahasa yang mengalir serta kemampuan menyajikan data-data statistic yang maha ribet melalui satu dua kalimat sederhana juga menjadi salah satu kelebihan buku ini.  Buku ini memang terkesan santai dalam hal penyampaian- dengan lirik-lirik lagu, Link video, dan ringkasan-ringkasan karya pendukung- namun begitu serius secara substansi.
            Secara keseluruhan, buku ini mengangkat tema tanah air sebagai Kampung Halaman rakyat , bukan “Tanah air” sebagai imaji idea yang simbolik umum dan abstrak (xii). Penulis mengajak pembaca untuk memperhatikan kembali bagaimana proses reorganisasi ruang yang bertujuan meluaskan kapitalisme ekspansif melalui produksi komoditas global terjadi dalam kurun waktu tertentu. Pada akhirnya, apabila pembaca mampu mengimajinasikan cara-cara menjadi pandu tanah air dan mengabdi untuk yang memulihkan krisis sosial ekologi sebagai dampak dari aktivitas ini, maka buku ini bisa dikatakan berhasil.
Porak Poranda Tanah Airku.
            Pada bab II, penulis memberikan gambaran umum mengenai tanah air, yang berujung pada sebuah kesimpulan khas ‘ pora poranda’.  Bahwa setiap satu menit satu rumah tangga petani hilang berganti pekerjaan dari pertanian dan sekitar 0,25 hektar tanah  pertanian rakyat berubah menjadi lahan pertanian.  Ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan kuantitas ini, Yang pertama adalah  minat bekerja pada bidang pertanian yang semakin menipis, karna tidak adanya kepemilikan atas tanah dan juga hasrat untuk berpendidikan tinggi – yang cenderung ingin meninggalkan kampong halaman.  Yang kedua adalah Perpindahan masyarakat dari desa ke kota. Modernisasi adalah alasan utama, yang merubah pandangan masyarakat menjadi kota sentris, melihat kota sebagai harapan yang menjanjikan kesejahteraan. Pada akhirnya, penulis memang tidak terjebak untuk menjabarakan  kementerengan modernitas, ia lebih pada upaya untuk menjelaskan kedok dibaliknya, yaitu mengenai cara peluasan sistem-sistem produksi global-sebuah akomodasi atas nafsu kapitalisme. yang sebenarnya menjadi penyebab utama porak porandanya tanah air.
            Bab III diberi judul reorganisasi ruang. Disini penulis mencoba menjejalkan kepada pembaca, bahwa semua keporak porandaan tanah air, disebabkan oleh dua kata mistis ini. hasrat kapitalisme untuk mengakumulasi keuntungan, telah menyebabkan begitu banyak krisis sosial ekologis, kekerasan, perampasan dan perubahan tata guna tanah, serta perbudakan modern.
            Reorganisasi ruang sebagai sebuah proses pengaturan ulang atas ruang-ruang sumber daya, semata-mata bertujuan untuk melipatgandakan keuntungan. Tidak perduli berapa jumlah lahan pertanian yang dialih fungsikan untuk memprodukis komoditi global, atau privatisasi tanah dan sumber daya alam lainnya, pemisahan antara penghasil dan pemilik batan, serta eksploitasi tenaga kerja untuk memproduksi nilai tambah, semua hal ini halal dan sah dilakukan atas nama keuntungan.  Disinilah jahatnya kapitalisme mencengkeram sebagai sebuah sistem yang tak terelakkan adanya, tidak sedikit korban dari semua proses jahat ini. Noer fauzi menguraikan dengan detil bagaimana kapitalisme dapat se-menggurita ini. Pembaca mungkin tidak akan terkejut, ketika Negara yang diwakili oleh elit pemerintah nya, menjadi fasilitator utama bagi kerja-kerja kapitalisme. Melalui regulasi-regulasi , izin-izin, kebijakan , proyek pembangunan, dan istilah tekhnokrasi lainnya. Negara berhasil menjadi kaki tangan yang teladan proses pengguritaan ini. Rakyat harus puas berposisi sebagai korban yang tertindas. Begitula kira-kira.
                        Pada bab IV, Noer fauzi mengajak kita untuk memahami bagaimana mekanisme berkerjanya modal sebagai seuatu kekuatan pengubah tanah air. Ia memaparkan karakter pasar sebagai instrument kapitalisme yang dapat mengakumulasikan keuntungan melalui kemjuan tekhnologi, peningkatan produktivitas tenga kerja , serta efisiensi hubungan sosia dan pembagian kerja produksi dan sirkulasi barang (p.26). Kapitalisme yang begitu agresif ini, sebenarnya akan berujung pada creative destruction  (Harvey, 2006), dimana banyak hal yang pada akhirnya akan mati karna tidak dapat bertahan pada sistem ini, lalu kapitatalisme akan tampil sebagai pembaharu. Apa-apa saja yang tadinya hancur lebur, dibangun sesuatu yang baru , yang dapat lebih mendatangkan keuntungan. Maka tida heran, apabila kita kemudian melihat banyak industri dan sektor non kapitalistik yang harus berakhir menjadi objek reorganisasu ruang.
            Bab ini menjadi menarik, ketika penulis membawa pembaca untuk berjalan-jalan ke masa lalu, menjumpai para pemimpin bangsa yang nafas cita-citanya jauh dari kapitalisme. Soekarno, Moh.Hatta, Tan Malaka, Mochamad Tauhid,  justru sudah menegaskan fondasi ideologis untuk menghantam kapitalisme,  yaitu Pengaturan agrarian Nasional yang merupakan antitesa dari pengaturan agrargia versi colonial.  Namun, Sayangnya Indonesia belum bisa lepas dari ‘ kutukan kolonial’, yaitu ‘Indonesia menjadi pasar bagi penjualan produk negeri penjajah dan negeri luar, Indonesia menjadi tempat pengambilan bahan-bahan pokok bagi industri kapitalisme , dan Indonesia menjadi tempat investasi daripada modal-moda penjajah dan moda asing”.  Kutukan inilah yang mendapatkan tempat pada rezim orde baru, melalui praktek azas domein Negara. Di orde inilah, Indonesia mulai menjadi republic kapling, semata-mata untuk konsesi pertambangan, kehutanan, dan perkebunan. Negara secara serius tanpa tedeng aling, memainkan perannya sebagai kaki tangan kapitalisme, melalui instrument-insturmen hukum dan daya represi atas rakyat. Semua ini secara sempurna telah menjebak Indonesia pada lumpur kemiskinan dengan meng-alienasi rakyat dari sumber penghidupannya sendiri.
            Pada akhir bab ini, penulis mengklimaks-kan semuanya dengan reflective question, Bagaimana kita dapat membebaskan diri dari kutukan colonial  ini?. Sebuah pertanyaan yang menurut saya, sangat penting dan mendesak. Mengingat agresifitas kapitalisme yang semakin hari , semakin mengerikan. Jika kita tida berhasil menemukan cara membebaskan diri dari kutukan colonial, maka kita sudah menggali lubang kuburan untuk kehancuran tanah air kita ini.
            Bab V dalam buku ini, adalah pedoman yang bisa dirujuk untuk bisa keluar dari krisis sosial ekologi yang berkepanjangan akibat kutukan  colonial. Hal-hal yang disampaikan didalamnya adalah pemahaman baru atas tiga golongan masalah, agar kita dapat mengenali dan menangani krisis sosial ekologi, yang bertujuan untuk bebas dari kutukan colonial.  Yang pertama adalah Keselamatan dan kesejahteraan rakyat, Yang kedua adalah keutuhan fungsi-fungsi faal dalam hidup, dan Yang terkahir adalah Produktivitas rakyat.
            Pada bagian penutup, penulis kembali memanggil kita secara ideologis untuk menjadi pandu bagi tanah air.  Bahwa kita adalah ‘arus balik’ dari semua proses pemorak porandaan tanah air ini. Kita dengan segala daya dan upaya akan dapat memaknai keindonesiaan sejati kita,sebagai seorang penjaga ‘ibu sejati’.
Banyak filsuf yang mencoba menafsirkan dunia, tapai banyak yang lupa bagaimana cara mengubahnya
(Karl Marx)

                                                                        *Peneliti Pemula di Sajogyo Institue