Penulis :
Noer Fauzi Rahman
Penerbit : Prakarsa Desa
Tahun : 2015
Tebal : 122 h + xx
Porak poranda adalah frasa yang
pembaca akan banyak temui dalam buku ini, sebuah frasa yang paling tepat
menggambarkan kondisi Tanah air Kekinian. Istilah yang menurut saya semacam
buah pemikiran dari perjalanan panjang
Noer Fauzi sebagai Aktivis Agraria dan pendidik rakyat. Melalui ‘porak poranda’
ini , kita tida hanya diajak meratapi nasib ke-porak-poranda-an itu sendiri,
melainkan panggilan paling hakiki untuk menjadi pandu tanah air.
Buku yang tidak terlau tebal ini,
begitu nyaman untuk dibaca oleh para pemula yang ingin mendalami isu agraria
dan segala macam efek yang ditimbulkannya. Saat membaca ini, ada emosi intim
yang terbangun, Penulis mampu memposisikan pembaca pun sebagai pengamat atau
bahkan korban dari segala proses perubahan reorganisasi ruang. Gaya Bahasa yang
mengalir serta kemampuan menyajikan data-data statistic yang maha ribet melalui
satu dua kalimat sederhana juga menjadi salah satu kelebihan buku ini. Buku ini memang terkesan santai dalam hal
penyampaian- dengan lirik-lirik lagu, Link
video, dan ringkasan-ringkasan karya pendukung- namun begitu serius secara
substansi.
Secara keseluruhan, buku ini
mengangkat tema tanah air sebagai Kampung Halaman rakyat , bukan “Tanah air”
sebagai imaji idea yang simbolik umum dan abstrak (xii). Penulis mengajak
pembaca untuk memperhatikan kembali bagaimana proses reorganisasi ruang yang
bertujuan meluaskan kapitalisme ekspansif melalui produksi komoditas global
terjadi dalam kurun waktu tertentu. Pada akhirnya, apabila pembaca mampu
mengimajinasikan cara-cara menjadi pandu tanah air dan mengabdi untuk yang
memulihkan krisis sosial ekologi sebagai dampak dari aktivitas ini, maka buku
ini bisa dikatakan berhasil.
Porak
Poranda Tanah Airku.
Pada
bab II, penulis memberikan gambaran umum mengenai tanah air, yang berujung pada
sebuah kesimpulan khas ‘ pora poranda’.
Bahwa setiap satu menit satu rumah tangga petani hilang berganti
pekerjaan dari pertanian dan sekitar 0,25 hektar tanah pertanian rakyat berubah menjadi lahan
pertanian. Ada beberapa faktor yang
menyebabkan terjadinya perubahan kuantitas ini, Yang pertama adalah minat
bekerja pada bidang pertanian yang semakin menipis, karna tidak adanya
kepemilikan atas tanah dan juga hasrat untuk berpendidikan tinggi – yang
cenderung ingin meninggalkan kampong halaman. Yang
kedua adalah Perpindahan masyarakat dari desa ke kota. Modernisasi adalah
alasan utama, yang merubah pandangan masyarakat menjadi kota sentris, melihat
kota sebagai harapan yang menjanjikan kesejahteraan. Pada akhirnya, penulis
memang tidak terjebak untuk menjabarakan
kementerengan modernitas, ia lebih pada upaya untuk menjelaskan kedok
dibaliknya, yaitu mengenai cara peluasan sistem-sistem produksi global-sebuah
akomodasi atas nafsu kapitalisme. yang sebenarnya menjadi penyebab utama porak
porandanya tanah air.
Bab III diberi judul reorganisasi
ruang. Disini penulis mencoba menjejalkan kepada pembaca, bahwa semua keporak
porandaan tanah air, disebabkan oleh dua kata mistis ini. hasrat kapitalisme
untuk mengakumulasi keuntungan, telah menyebabkan begitu banyak krisis sosial
ekologis, kekerasan, perampasan dan perubahan tata guna tanah, serta perbudakan
modern.
Reorganisasi ruang sebagai sebuah
proses pengaturan ulang atas ruang-ruang sumber daya, semata-mata bertujuan
untuk melipatgandakan keuntungan. Tidak perduli berapa jumlah lahan pertanian
yang dialih fungsikan untuk memprodukis komoditi global, atau privatisasi tanah
dan sumber daya alam lainnya, pemisahan antara penghasil dan pemilik batan,
serta eksploitasi tenaga kerja untuk memproduksi nilai tambah, semua hal ini
halal dan sah dilakukan atas nama keuntungan.
Disinilah jahatnya kapitalisme mencengkeram sebagai sebuah sistem yang
tak terelakkan adanya, tidak sedikit korban dari semua proses jahat ini. Noer
fauzi menguraikan dengan detil bagaimana kapitalisme dapat se-menggurita ini.
Pembaca mungkin tidak akan terkejut, ketika Negara yang diwakili oleh elit
pemerintah nya, menjadi fasilitator utama bagi kerja-kerja kapitalisme. Melalui
regulasi-regulasi , izin-izin, kebijakan , proyek pembangunan, dan istilah
tekhnokrasi lainnya. Negara berhasil menjadi kaki tangan yang teladan proses
pengguritaan ini. Rakyat harus puas berposisi sebagai korban yang tertindas.
Begitula kira-kira.
Pada bab IV, Noer fauzi
mengajak kita untuk memahami bagaimana mekanisme berkerjanya modal sebagai
seuatu kekuatan pengubah tanah air. Ia memaparkan karakter pasar sebagai
instrument kapitalisme yang dapat mengakumulasikan keuntungan melalui kemjuan
tekhnologi, peningkatan produktivitas tenga kerja , serta efisiensi hubungan
sosia dan pembagian kerja produksi dan sirkulasi barang (p.26). Kapitalisme
yang begitu agresif ini, sebenarnya akan berujung pada creative destruction (Harvey,
2006), dimana banyak hal yang pada akhirnya akan mati karna tidak dapat
bertahan pada sistem ini, lalu kapitatalisme akan tampil sebagai pembaharu.
Apa-apa saja yang tadinya hancur lebur, dibangun sesuatu yang baru , yang dapat
lebih mendatangkan keuntungan. Maka tida heran, apabila kita kemudian melihat
banyak industri dan sektor non kapitalistik yang harus berakhir menjadi objek
reorganisasu ruang.
Bab ini menjadi menarik, ketika
penulis membawa pembaca untuk berjalan-jalan ke masa lalu, menjumpai para
pemimpin bangsa yang nafas cita-citanya jauh dari kapitalisme. Soekarno,
Moh.Hatta, Tan Malaka, Mochamad Tauhid,
justru sudah menegaskan fondasi ideologis untuk menghantam
kapitalisme, yaitu Pengaturan agrarian
Nasional yang merupakan antitesa dari pengaturan agrargia versi colonial. Namun, Sayangnya Indonesia belum bisa lepas
dari ‘ kutukan kolonial’, yaitu ‘Indonesia menjadi pasar bagi penjualan produk
negeri penjajah dan negeri luar, Indonesia menjadi tempat pengambilan
bahan-bahan pokok bagi industri kapitalisme , dan Indonesia menjadi tempat
investasi daripada modal-moda penjajah dan moda asing”. Kutukan inilah yang mendapatkan tempat pada
rezim orde baru, melalui praktek azas domein
Negara. Di orde inilah, Indonesia mulai menjadi republic kapling,
semata-mata untuk konsesi pertambangan, kehutanan, dan perkebunan. Negara
secara serius tanpa tedeng aling, memainkan perannya sebagai kaki tangan
kapitalisme, melalui instrument-insturmen hukum dan daya represi atas rakyat.
Semua ini secara sempurna telah menjebak Indonesia pada lumpur kemiskinan
dengan meng-alienasi rakyat dari sumber penghidupannya sendiri.
Pada akhir bab ini, penulis
mengklimaks-kan semuanya dengan reflective
question, Bagaimana kita dapat membebaskan diri dari kutukan colonial ini?. Sebuah pertanyaan yang menurut saya,
sangat penting dan mendesak. Mengingat agresifitas kapitalisme yang semakin
hari , semakin mengerikan. Jika kita tida berhasil menemukan cara membebaskan diri
dari kutukan colonial, maka kita sudah menggali lubang kuburan untuk kehancuran
tanah air kita ini.
Bab V dalam buku ini, adalah pedoman
yang bisa dirujuk untuk bisa keluar dari krisis sosial ekologi yang
berkepanjangan akibat kutukan colonial.
Hal-hal yang disampaikan didalamnya adalah pemahaman baru atas tiga golongan
masalah, agar kita dapat mengenali dan menangani krisis sosial ekologi, yang
bertujuan untuk bebas dari kutukan colonial.
Yang pertama adalah
Keselamatan dan kesejahteraan rakyat, Yang
kedua adalah keutuhan fungsi-fungsi faal dalam hidup, dan Yang terkahir adalah Produktivitas
rakyat.
Pada bagian penutup, penulis kembali
memanggil kita secara ideologis untuk menjadi pandu bagi tanah air. Bahwa kita adalah ‘arus balik’ dari semua proses
pemorak porandaan tanah air ini. Kita dengan segala daya dan upaya akan dapat
memaknai keindonesiaan sejati kita,sebagai seorang penjaga ‘ibu sejati’.
Banyak
filsuf yang mencoba menafsirkan dunia, tapai banyak yang lupa bagaimana cara
mengubahnya
(Karl Marx)
*Peneliti Pemula di Sajogyo Institue
Tidak ada komentar:
Posting Komentar