Rabu, 18 Agustus 2021
Laporan Penelitian : Mama Ke Hutan
Kabar Dari Sungai
Catatan singkat ini merupakan hasil mengingat ulang pengalaman empat-lima tahun lalu belajar bersama kelompok perempuan nelayan di kampung sungai bernama Liang Buaya, Provinsi Kalimantan Timur. Sebuah catatan tentang bagaimana strategi pemenuhan subsistensi yang ditempuh oleh perempuan nelayan (yang bahkan tidak diakui identitasnya sebagai nelayan oleh otoritas administrasi negara dan juga menghadapi rangkaian stigma) dalam menghadapi perubahan ruang hidup akibat masifnya ekspansi perkebunan monokultur.
Berkenalan dengan Kampung Sungai
Sebagai sebuah kampung pingir sungai yang bercirikan rumah-rumah apung, masyarakat di sepanjang aliran Kedang Rantau [1]mengenal sebuah siklus alam yang khas yakni Banjir tahunan. Banjir tahunan ini tentu saja berbeda dengan banjir di kota-kota besar yang dikategorikan sebagai musibah. Masyarakat sungai memandang banjir sebagai berkah, sebagai rahmat alam. Apa sebab?
Musim banjir bagai para nelayan bermakna panen raya bagi para petani. Sebab dalam kurun waktu tersebut, jumlah ikan akan melonjak berkali-kali lipat, perbandingannya adalah sebagai berikut : satu orang nelayan dalam satu bulan pertama di musim banjir, bisa membawa satu ton ikan setiap harinya[2]. Frekuensi untuk satu kali periode musim banjir pun tidak berlangsung hanya dalam hitungan hari, melainkan triwulan. Ya, tiga bulan lamanya, Sungai Kedang Rantau mengalami banjir. Maka, meski secara tertulis mereka tidak memiliki ‘kalender musim’, tapi mereka sudah memiliki perkiraan matematis, kapan musim berkah ini akan mulai dan berakhir. Ada beberapa fungi dari hitungan matematis yang mereka pahami secara ekologis ini, yang pertama adalah untuk memulai periode jukut manau atau masa ikan bertelur, sebuah rentang waktu di mana nelayan tidak diperbolehkan menangkap ikan, sebab pada periode itu ikan sedang mengalami proses bertelur dan berkembang biak. Fase ini biasa terjadi di antara peralihan dari musim kering ke musim banjir. Fungsi Kedua dari kalender lokal tadi adalah untuk menandai periode dimulainya tradisi behuma[3] , sebab aktivitas pertanian perkebunan ini hanya bisa dilakukan dalam fase air tohor (air surut).
Kampung Liang Buaya sebagai bagian dari Mahakam Tengah adalah saksi hidup bagi ragam pengrusakan dan pemburukan di ruang hidup borneo. Jika pada era 1990-an, Kampung-Kampung sepanjang aliran sungai Kedang Rantau ini merupakan pemasok terbesar ikan air tawar di Provinsi Kalimantan Timur, di mana setiap hari kapal-kapal pengangkut ikan berlalu lalang membawa beratus-ratus ton ikan, maka hari ini gelar yang disematkan sebagai ‘lumbung ikan’ perlahan mulai tenggelam. Penerbitan ijin untuk pembukaan perkebunan kelapa sawit menyebabkan alih fungsi hutan dan lahan gambut tidak bisa terelakkan. Namun jika ditarik lebih jauh ke belakang, eksploitasi situs Mahakam Tengah tidak hanya dimula dari rezim perkebunan kelapa sawit ataupun batu bara, di beberapa titik, hamparan ini telah lama dieksploitasi untuk memenuhi permintaan pasar atas komoditas kayu, seperti Kampung Puan Cepak dan Menamang Kiri-Kanan.
Perempuan dalam Reorganisasi Ruang
Dalam aktivitas keseharian kampung sungai, mencari ikan sepenuhnya dilakukan oleh laki-laki. Perempuan dalam pembagian kerja gender tidak diperkenankan ‘mengakses sungai’ kecuali dalam kondisi tertentu. Yang dimaksud dengan ‘kondisi tertentu’ adalah : (1) Perempuan yang hidup sendiri, yakni mereka yang tidak menikah atau tidak memiliki anak laki-laki. Ibu Nong adalah contohnya, ia tidak menikah dan tinggal sendiri di rumah rakitnya. Setiap hari ia akan merawai di sekitar rumahnya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. (2) Ibu-Ibu yang ditinggal suaminya merantau. Kondisi ini dialami oleh Ibu Jus. Suaminya Pak Wandi pergi merantau ke Muara Ancalong selama kurang lebih satu hingga dua bulan dan hanya ‘dibekali’ uang sebesar 200 ribu rupiah. Ibu dengan demikian, harus memikirkan cara memenuhi kebutuhan subsistensi rumah tangga Ia dan ke-tiga anaknya, yakni dengan mencari ikan. Tidak mudah bagi Ibu Jus untuk menggantikan tugas suaminya, bukan karena Ia tak pandai mencari ikan, melainkan ‘rasa malu’ yang tak sanggup ia tanggung. ‘Masa urang bini merawai’[4], tuturnya saat ditanya alasan di balik rasa malunya tersebut. Ibu Jus merasa tidak nyaman harus melakukan tugas laki-laki, namun Ia tidak punya pilihan lain. Maka, untuk mengakali rasa malunya tersebut, Ia akan memulai aktivitas merawai di awal hari saat matahari belum lagi muncul, dan memanen hasilnya di akhir hari saat bulan mengambil alih langit malam, hal itu Ia lakukan untuk menghindari pandangan mata warga lainnya.
Perkebunan Kelapa Sawit yang luasnya mencapai 1.900 Ha di Kampung Liang Buaya, mengubah secara signifikan metabolisme tahunan sungai. ‘Banjir’ tak lagi mudah diprediksi, dan kalender ‘musim’ tidak bisa diandalkan. Sebab saat ini waktu pasang dan surut air sungai benar-benar bersifat spontan, hari ini pasang, besok bisa jadi langsung surut dan atau sebaliknya. Dalam pengetahuan orang lokal, banjir selalu datang dua kali dalam setahun, banjir pertama datang pada bulan Maret hingga Juni, dan surut pada bulan Juli hingga Agustus. Banjir kedua akan datang pada November hingga Januari, dan surut pada Februari. Masa peralihan berada pada September dan Oktober. Dengan prediksi seperti inilah, rumah tangga nelayan (terutama kaum perempuan) melakukan banyak kalkulasi keuangan untuk kebutuhan rumah tangga, serta menentukan waktu memulai aktivitas behuma (beladang). Namun, pasca perkebunan kelapa sawit mulai melakukan aktivitas tanam sekitar 2006, banjir semakin tidak menentu dan tidak relevan bagi kalender musim mereka. Pembongkaran besar-besaran lahan gambut untuk perkebunan serta aktivitas pembungan limbah ke sungai-sungai, menyebabkan banjir dan kuantitas ikan tidak lagi menjadi hal yang linier.
Dalam kondisi yang demikian, kaum perempuanlah yang harus memikirkan beragam cara untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga harian. Karena dalam skema pembagian kerja Gender sungai bukanlah domain utama mereka, daratan kemudian menjadi salah satu alternatif untuk terus bertahan hidup. Di Kampung Liang Buaya, Behuma diprakarsai dan dikerjakan secara kolektif oleh perempuan.
Behuma adalah praktik pertanian perkebunan yang merupakan akar pengetahuan lokal bangsa kutai dan juga banjar. Praktik Behuma di kampung dilakukan tidak jauh dari sempadan sungai dan amat tergantung pada kalender musim. Ia dilakukan untuk mengisi bulan-bulan di mana sungai sedang berada dalam periode surut, karna pada kondisi seperti itu, tanah memungkinkan untuk ditanami, berbeda dengan musim banjir di mana tanah tergenang oleh air. Aktivitas ini sering ditengarai sebagai penyebab utama kebakaran di Hutan Kalimantan, kita akan menemukan rentetan spanduk pelarangan dari kepolisian yang tertempel di sudut-sudut kampung, semua ini seolah mengafirmasi bahwa masyarakat adalah pelaku utama kebakaran hutan.
Berdasarkan tuturan Ibu Jus, bahwa sebelum ia pindah dari Muara Ancalong ke Liang Buaya, ia menanam padi untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Terkadang, ketika ia tidak sedang menanam padi (yang artinya sedang musim banjir), akan ada beberapa orang yang datang dan menawarkan untuk bertukar/barter beras hasil panennya tersebut dengan ikan-ikan dan sebaliknya. Pun saat Ibu Jus pindah ke Kampung Liang Buaya, ia tetap melanjutkan tradisi behuma terutama saat musim kering, tidak hanya Ibu Jus tentu saja, Ibu-Ibu lain pun melakukan hal yang sama. Biasanya mereka akan membuka lahan yang tidak terlampau jauh dari sungai, untuk memudahkan mereka menyiram tanaman.
Tanaman yang ditumbuhkan selama behuma bermacam-macam seperti : Cabe, Terong, Buncis, Bayam, Tomat, Timun, Gambas, Ubi jalar, dan Jagung. Ada juga — karna yakin bahwa musim akan terus surut dalam waktu yang lama, mereka pada akhirnya memutuskan untuk menanam padi. Tanaman ini mereka biasa konsumsi sendiri, dibarter dengan barang lain, atau bahkan dijual dengan tetangga satu kampung. Kak Navi misalnya sering menukar cabe yang ia panen dengan ubi yang ditanam oleh Ibu Jus. Kebun mereka pun bersebelahan dan hampir tidak ada jarak. Mereka , para ibu dan anak perempuannya, mulai behuma sekitar pukul 10.00 pagi, biasanya mereka membawa topii sraung dan arit untuk membersihkan lahan. Sekitar pukul dua siang , mereka mengambil jeda untuk beristirahat , dengan mengobrol diatas jembatan ulin. Luasan lahan behuma satu orang biasa tidak lebih dari setengah lapangan voli. Namun semakin banyak tenaga yang membantu, mereka bisa menanam semakin banyak.
Mereka membuka lahan dengan cara membakar, tetapi mereka sudah membuat pembatas hingga api tidak melahap lahan lain . Tentu saja mereka bisa mengendalikan api di lahan yang tidak terlalu besar tersebut. Namun, belakangan spanduk yang bertuliskan ‘dilarang membakar’ telah dipasang di sepanjang kampung, membuat mereka takut sekaligus marah. ‘Aku lihat sendiri orang perkebunan itu membakar lahan, pas aku tanya kenapa mereka membakar, disuruh pimpinan . Mereka itu — perusahaan- yang harusnya ditangkap, karna mereka membakar dalam jumlah luas. Kami satu hektar pun tidak sanggup’, cerita salah satu peladang.
Tidak hanya dituding sebagai penyebab kebakaran hutan, ketidakstabilan periode banjir — sebagaimana yang mereka pahami turun-temurun — membuat ‘lahan huma’ mereka menjadi demikian rentan. Kadang-kadang ketika terbangun di pagi hari, Ibu Jus menyaksikan dari seberang rakitnya, air mulai berangsur naik dan merendam tanaman-tanamannya. Ia kemudian akan mengayuh perahu secepat mungkin untuk melihat apa-apa saja yang dapat diselamatkan. Setelahnya, ia akan mengeluh akibat anomali alam yang demikian, ‘Dulu tidak begitu’, ia meyakinkanku. Ibu-ibu lain pun akan berbondong-bondong menyelamatkan lahannya, beberapa mereka pindahkan ke polybag, selebihnya mereka biarkan tergenang air. Ada raut kesedihan di wajah mereka, salah satu harapan untuk mengungkit kebutuhan harian rumah tangga pun menjadi domain yang abu-abu tak menentu.
Para perempuan pedesaan ini menjadi saksi bagiamana ruang menjadi sedemikian sempit akibat penetrasi kapital. Alih fungsi lahan gambut akibat kehendak ekspansi kelapa sawit, menyebabkan kemapanan alam — yang menjadi standar acuan ekonomi harian rumah tangga nelayan- menjadi terganggu. Hal ini berpengaruh secara langsung di ruang-ruang domestik para Ibu. Selain kehilangan kemampuan untuk memprediksi kondisi keuangan, mereka juga tidak lagi dapat bersandar dengan alternative pemenuhan subsistensi lainnya, seperti behuma.
[1] Kedang rantau adalah salah satu anak sungai mahakam yang mengaliri beberapa kampung, salah satunya adalah kampung liang buaya yang dihuni oleh Suku Kutai dan Banjar.
[2] Dalam satu tahun ada dua kali siklus banjir.
[3] Behuma dalam bahasa Kutai/ Bahuma dalam bahasa banjar bermakna ladang bergilir/berpindah, sebuah tradisi lokal pertanian perkebunan (agroforestry) yang telah dilakukan semenjak zaman dahulu
[4] Masa Perempuan Mencari Ikan
Selasa, 18 Agustus 2020
Pandemi, Kapitalisme, dan Papua
Naskah ini ditulis dalam Bahasa Inggris untuk sebuah platform milik Pusat Studi Asia Tenggara Universitas Kyoto (Center fo Southeast Asian Studies Kyoto University) yang berjudul CSEAS Corona Chronicles. Platform ini bertujuan untuk mempresentasikan temuan penelitian terbaru dari berbagai negara dan wilayah tentang bagaimana COVID-19 memengaruhi individu, komunitas, dan negara.
Dalam artikel ini, Saya menceritakan persinggungan antara Ekspansi Kapitalisme dan Pandemi Covid, dan bagaimana Ia memperburuk keadaan dan penghidupan Orang Asli Papua.