Rabu, 18 Agustus 2021

Laporan Penelitian : Mama Ke Hutan


Laporan ini merupakan hasil penelitian lapangan saya sebagai peneliti di Yayasan Pusaka Bentala Rakyat,  tentang berbagai dampak perkebunan sawit terhadap perempuan adat Papua di Papua dan Papua Barat. Secara singkat, naskah ini membagi tentang kisah perempuan adat yang berhadapan dengan kuasa modal. Bagaimana mereka – dengan segala keterbatasan kontrol atas sumber daya alam - sangat rentan tergusur dari ruang hidupnya. Semua ini dimulai sejak awal proses akuisisi lahan bagi ekspansi bisnis di Papua yang amat bernuansa maskulin, di mana kelompok laki-laki lebih dominan memiliki kuasa untuk memindahkan hak atas tanah, lalu diteruskan oleh sebuah fenomena eksklusi dari situs-situs penting penghidupan akibat proses alih fungsi lahan, dan pada akhirnya mendorong perubahan corak produksi, dari seorang produsen subsistensi menjadi buruh upahan perkebunan. Saya tiba pada kesimpulan bahwa Rekognisi setengah hati oleh Negara Neoliberal, memainkan peran penting terhadap penyingkiran Perempuan dalam kontestasi sumber daya alam.

 Silahkan akses di tautan berikut ini

Kabar Dari Sungai


Catatan singkat ini merupakan hasil mengingat ulang pengalaman empat-lima tahun lalu belajar bersama kelompok perempuan nelayan di kampung sungai bernama Liang Buaya, Provinsi Kalimantan Timur. Sebuah catatan tentang bagaimana strategi pemenuhan subsistensi yang ditempuh oleh perempuan nelayan (yang bahkan tidak diakui identitasnya sebagai nelayan oleh otoritas administrasi negara dan juga menghadapi rangkaian stigma) dalam menghadapi perubahan ruang hidup akibat masifnya ekspansi perkebunan monokultur.

Berkenalan dengan Kampung Sungai

Sebagai sebuah kampung pingir sungai yang bercirikan rumah-rumah apung, masyarakat di sepanjang aliran Kedang Rantau [1]mengenal sebuah siklus alam yang khas yakni Banjir tahunan. Banjir tahunan ini tentu saja berbeda dengan banjir di kota-kota besar yang dikategorikan sebagai musibah. Masyarakat sungai memandang banjir sebagai berkah, sebagai rahmat alam. Apa sebab?

Musim banjir bagai para nelayan bermakna panen raya bagi para petani. Sebab dalam kurun waktu tersebut, jumlah ikan akan melonjak berkali-kali lipat, perbandingannya adalah sebagai berikut : satu orang nelayan dalam satu bulan pertama di musim banjir, bisa membawa satu ton ikan setiap harinya[2]. Frekuensi untuk satu kali periode musim banjir pun tidak berlangsung hanya dalam hitungan hari, melainkan triwulan. Ya, tiga bulan lamanya, Sungai Kedang Rantau mengalami banjir. Maka, meski secara tertulis mereka tidak memiliki ‘kalender musim’, tapi mereka sudah memiliki perkiraan matematis, kapan musim berkah ini akan mulai dan berakhir. Ada beberapa fungi dari hitungan matematis yang mereka pahami secara ekologis ini, yang pertama adalah untuk memulai periode jukut manau atau masa ikan bertelur, sebuah rentang waktu di mana nelayan tidak diperbolehkan menangkap ikan, sebab pada periode itu ikan sedang mengalami proses bertelur dan berkembang biak. Fase ini biasa terjadi di antara peralihan dari musim kering ke musim banjir. Fungsi Kedua dari kalender lokal tadi adalah untuk menandai periode dimulainya tradisi behuma[3] , sebab aktivitas pertanian perkebunan ini hanya bisa dilakukan dalam fase air tohor (air surut).

Kampung Liang Buaya sebagai bagian dari Mahakam Tengah adalah saksi hidup bagi ragam pengrusakan dan pemburukan di ruang hidup borneo. Jika pada era 1990-an, Kampung-Kampung sepanjang aliran sungai Kedang Rantau ini merupakan pemasok terbesar ikan air tawar di Provinsi Kalimantan Timur, di mana setiap hari kapal-kapal pengangkut ikan berlalu lalang membawa beratus-ratus ton ikan, maka hari ini gelar yang disematkan sebagai ‘lumbung ikan’ perlahan mulai tenggelam. Penerbitan ijin untuk pembukaan perkebunan kelapa sawit menyebabkan alih fungsi hutan dan lahan gambut tidak bisa terelakkan. Namun jika ditarik lebih jauh ke belakang, eksploitasi situs Mahakam Tengah tidak hanya dimula dari rezim perkebunan kelapa sawit ataupun batu bara, di beberapa titik, hamparan ini telah lama dieksploitasi untuk memenuhi permintaan pasar atas komoditas kayu, seperti Kampung Puan Cepak dan Menamang Kiri-Kanan.

Perempuan dalam Reorganisasi Ruang

Dalam aktivitas keseharian kampung sungai, mencari ikan sepenuhnya dilakukan oleh laki-laki. Perempuan dalam pembagian kerja gender tidak diperkenankan ‘mengakses sungai’ kecuali dalam kondisi tertentu. Yang dimaksud dengan ‘kondisi tertentu’ adalah : (1) Perempuan yang hidup sendiri, yakni mereka yang tidak menikah atau tidak memiliki anak laki-laki. Ibu Nong adalah contohnya, ia tidak menikah dan tinggal sendiri di rumah rakitnya. Setiap hari ia akan merawai di sekitar rumahnya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. (2) Ibu-Ibu yang ditinggal suaminya merantau. Kondisi ini dialami oleh Ibu Jus. Suaminya Pak Wandi pergi merantau ke Muara Ancalong selama kurang lebih satu hingga dua bulan dan hanya ‘dibekali’ uang sebesar 200 ribu rupiah. Ibu dengan demikian, harus memikirkan cara memenuhi kebutuhan subsistensi rumah tangga Ia dan ke-tiga anaknya, yakni dengan mencari ikan. Tidak mudah bagi Ibu Jus untuk menggantikan tugas suaminya, bukan karena Ia tak pandai mencari ikan, melainkan ‘rasa malu’ yang tak sanggup ia tanggung. ‘Masa urang bini merawai’[4]tuturnya saat ditanya alasan di balik rasa malunya tersebut. Ibu Jus merasa tidak nyaman harus melakukan tugas laki-laki, namun Ia tidak punya pilihan lain. Maka, untuk mengakali rasa malunya tersebut, Ia akan memulai aktivitas merawai di awal hari saat matahari belum lagi muncul, dan memanen hasilnya di akhir hari saat bulan mengambil alih langit malam, hal itu Ia lakukan untuk menghindari pandangan mata warga lainnya.

Perkebunan Kelapa Sawit yang luasnya mencapai 1.900 Ha di Kampung Liang Buaya, mengubah secara signifikan metabolisme tahunan sungai. ‘Banjir’ tak lagi mudah diprediksi, dan kalender ‘musim’ tidak bisa diandalkan. Sebab saat ini waktu pasang dan surut air sungai benar-benar bersifat spontan, hari ini pasang, besok bisa jadi langsung surut dan atau sebaliknya. Dalam pengetahuan orang lokal, banjir selalu datang dua kali dalam setahun, banjir pertama datang pada bulan Maret hingga Juni, dan surut pada bulan Juli hingga Agustus. Banjir kedua akan datang pada November hingga Januari, dan surut pada Februari. Masa peralihan berada pada September dan Oktober. Dengan prediksi seperti inilah, rumah tangga nelayan (terutama kaum perempuan) melakukan banyak kalkulasi keuangan untuk kebutuhan rumah tangga, serta menentukan waktu memulai aktivitas behuma (beladang). Namun, pasca perkebunan kelapa sawit mulai melakukan aktivitas tanam sekitar 2006, banjir semakin tidak menentu dan tidak relevan bagi kalender musim mereka. Pembongkaran besar-besaran lahan gambut untuk perkebunan serta aktivitas pembungan limbah ke sungai-sungai, menyebabkan banjir dan kuantitas ikan tidak lagi menjadi hal yang linier.

Dalam kondisi yang demikian, kaum perempuanlah yang harus memikirkan beragam cara untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga harian. Karena dalam skema pembagian kerja Gender sungai bukanlah domain utama mereka, daratan kemudian menjadi salah satu alternatif untuk terus bertahan hidup. Di Kampung Liang Buaya, Behuma diprakarsai dan dikerjakan secara kolektif oleh perempuan.

Behuma adalah praktik pertanian perkebunan yang merupakan akar pengetahuan lokal bangsa kutai dan juga banjar. Praktik Behuma di kampung dilakukan tidak jauh dari sempadan sungai dan amat tergantung pada kalender musim. Ia dilakukan untuk mengisi bulan-bulan di mana sungai sedang berada dalam periode surut, karna pada kondisi seperti itu, tanah memungkinkan untuk ditanami, berbeda dengan musim banjir di mana tanah tergenang oleh air. Aktivitas ini sering ditengarai sebagai penyebab utama kebakaran di Hutan Kalimantan, kita akan menemukan rentetan spanduk pelarangan dari kepolisian yang tertempel di sudut-sudut kampung, semua ini seolah mengafirmasi bahwa masyarakat adalah pelaku utama kebakaran hutan.

Berdasarkan tuturan Ibu Jus, bahwa sebelum ia pindah dari Muara Ancalong ke Liang Buaya, ia menanam padi untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Terkadang, ketika ia tidak sedang menanam padi (yang artinya sedang musim banjir), akan ada beberapa orang yang datang dan menawarkan untuk bertukar/barter beras hasil panennya tersebut dengan ikan-ikan dan sebaliknya. Pun saat Ibu Jus pindah ke Kampung Liang Buaya, ia tetap melanjutkan tradisi behuma terutama saat musim kering, tidak hanya Ibu Jus tentu saja, Ibu-Ibu lain pun melakukan hal yang sama. Biasanya mereka akan membuka lahan yang tidak terlampau jauh dari sungai, untuk memudahkan mereka menyiram tanaman.

Tanaman yang ditumbuhkan selama behuma bermacam-macam seperti : Cabe, Terong, Buncis, Bayam, Tomat, Timun, Gambas, Ubi jalar, dan Jagung. Ada juga — karna yakin bahwa musim akan terus surut dalam waktu yang lama, mereka pada akhirnya memutuskan untuk menanam padi. Tanaman ini mereka biasa konsumsi sendiri, dibarter dengan barang lain, atau bahkan dijual dengan tetangga satu kampung. Kak Navi misalnya sering menukar cabe yang ia panen dengan ubi yang ditanam oleh Ibu Jus. Kebun mereka pun bersebelahan dan hampir tidak ada jarak. Mereka , para ibu dan anak perempuannya, mulai behuma sekitar pukul 10.00 pagi, biasanya mereka membawa topii sraung dan arit untuk membersihkan lahan. Sekitar pukul dua siang , mereka mengambil jeda untuk beristirahat , dengan mengobrol diatas jembatan ulin. Luasan lahan behuma satu orang biasa tidak lebih dari setengah lapangan voli. Namun semakin banyak tenaga yang membantu, mereka bisa menanam semakin banyak.

Mereka membuka lahan dengan cara membakar, tetapi mereka sudah membuat pembatas hingga api tidak melahap lahan lain . Tentu saja mereka bisa mengendalikan api di lahan yang tidak terlalu besar tersebut. Namun, belakangan spanduk yang bertuliskan ‘dilarang membakar’ telah dipasang di sepanjang kampung, membuat mereka takut sekaligus marahAku lihat sendiri orang perkebunan itu membakar lahan, pas aku tanya kenapa mereka membakar, disuruh pimpinan . Mereka itu — perusahaan- yang harusnya ditangkap, karna mereka membakar dalam jumlah luas. Kami satu hektar pun tidak sanggup’, cerita salah satu peladang.

Tidak hanya dituding sebagai penyebab kebakaran hutan, ketidakstabilan periode banjir — sebagaimana yang mereka pahami turun-temurun — membuat ‘lahan huma’ mereka menjadi demikian rentan. Kadang-kadang ketika terbangun di pagi hari, Ibu Jus menyaksikan dari seberang rakitnya, air mulai berangsur naik dan merendam tanaman-tanamannya. Ia kemudian akan mengayuh perahu secepat mungkin untuk melihat apa-apa saja yang dapat diselamatkan. Setelahnya, ia akan mengeluh akibat anomali alam yang demikian, ‘Dulu tidak begitu’, ia meyakinkanku. Ibu-ibu lain pun akan berbondong-bondong menyelamatkan lahannya, beberapa mereka pindahkan ke polybag, selebihnya mereka biarkan tergenang air. Ada raut kesedihan di wajah mereka, salah satu harapan untuk mengungkit kebutuhan harian rumah tangga pun menjadi domain yang abu-abu tak menentu.

Para perempuan pedesaan ini menjadi saksi bagiamana ruang menjadi sedemikian sempit akibat penetrasi kapital. Alih fungsi lahan gambut akibat kehendak ekspansi kelapa sawit, menyebabkan kemapanan alam — yang menjadi standar acuan ekonomi harian rumah tangga nelayan- menjadi terganggu. Hal ini berpengaruh secara langsung di ruang-ruang domestik para Ibu. Selain kehilangan kemampuan untuk memprediksi kondisi keuangan, mereka juga tidak lagi dapat bersandar dengan alternative pemenuhan subsistensi lainnya, seperti behuma.

[1] Kedang rantau adalah salah satu anak sungai mahakam yang mengaliri beberapa kampung, salah satunya adalah kampung liang buaya yang dihuni oleh Suku Kutai dan Banjar.

[2] Dalam satu tahun ada dua kali siklus banjir.

[3] Behuma dalam bahasa Kutai/ Bahuma dalam bahasa banjar bermakna ladang bergilir/berpindah, sebuah tradisi lokal pertanian perkebunan (agroforestry) yang telah dilakukan semenjak zaman dahulu

[4] Masa Perempuan Mencari Ikan

Selasa, 18 Agustus 2020

Pandemi, Kapitalisme, dan Papua

 


Naskah ini ditulis dalam Bahasa Inggris untuk sebuah platform milik Pusat Studi Asia Tenggara Universitas Kyoto (Center fo Southeast Asian Studies Kyoto University) yang berjudul CSEAS Corona Chronicles. Platform ini bertujuan untuk mempresentasikan temuan penelitian terbaru dari berbagai negara dan wilayah tentang bagaimana COVID-19 memengaruhi individu, komunitas, dan negara. 

Dalam artikel ini, Saya menceritakan persinggungan antara Ekspansi Kapitalisme dan Pandemi Covid, dan bagaimana Ia memperburuk keadaan dan penghidupan Orang Asli Papua. 

Silahkan akses di tautan berikur ini

Rabu, 04 Mei 2016

Review Buku : Tindakan Kecil Perlawanan





Judul Buku  : Small Acts  of Resistance : How Courage , Tenacity,  can change the World
Penulis         : Steve Crawshas dan John Jackson
Penerjemah  : Rome Topatimasang
Penerbit        : INSISTPress
Tahun           : 2015
Tebal            : 261 h + xiv
Rassela Malinda

Tidak jarang selama berdemonstrasi, kita acap kali meneriakkan : Boikot, Boikot, Boikot!, Tapi mungkin kita tidak pernah bertanya, bagaimana sebuah konsep perlawanan bisa diasosisikan dengan kata boikot.
Boycot adalah nama seorang kapten Charles Cunningham Boycott, seorang kaki tangan tuan tanah  Lord Erne di sebuah kecamatan bernama Mayo, bagian Barat daratan Irlandia yang dikuasai oleh Inggris. Pada tanggal 23 September 1880, para penggerap lahan yang berada dibawah pengawasan Boycott melawan dan memprotes harga sewa dan pencaplokan lahan yang dilakukan secara tidak adil. Mereka melakukan mogok kerja, alhasil Boycott dan keluarga harus mengurusi segalanya sendiri, dari mulai memerah susu sampai memasang sendiri sepatu kuda-kuda mereka. Para tukang pos berhenti mengantarkan surat, penjaga toko menolak melayani boycott dan keluarga yang ingin berbelanja dan pada akhirnya semua orang mengucilkan mereka.  Pada saat itu , penggerak aksi mogok ,James Redpath tidak dapat menemukan satu kata yang tepat untuk menyebut bentuk ketidakpatuhan yang masif dan kompak itu. Maka atas nasihat seorang pastor yang bersimpati Romo John O’Malley menyarankan untuk menyebut feomena ini dengan ‘ mem-Boycott-nya’.  Maka, hingga hari ini, semua orang diseluruh dunia latah menyebutkan setiap jenis ‘ketidakpatuhan’ akan aturan-aturan yang mengekang dan tidak adil sebagai aksi mem-boikot.
Kisah boikot hanya salah satu dari 80 kisah yang terdapat dalam buku ini : Tindakan-Tindakan kecil perlawanan.  Kumpulan kisah-kisah dari seluruh belahan dunia, yang menggambarkan sebuah tekat dan perjalanan menemukan kemanusiaan, yang semuanya tergambarkan pada satu kata : Perlawanan. Sebenarnya ada sedikit keraguan untuk menyebut kesatuan kisah dalam buku ini sebagai ‘tindakan kecil’, saya sebagai pembaca acap kali merasakan perubahan emosi yang drastis, dari sedih, kecewa, marah hingga terkagum-kagum akan keberanian orang-orang yang dimunculkan dalam buku ini. Bayangkan bagaimana sebuah kereta bayi dapat menjadi simbol perlawanan atas dominasi berita yang dilakukan oleh Rezim Komunis Polandia. Atau aksi masa mencuci bendera yang dikenal dengan istilah ‘lava la bendera’, yang dilakukan oleh ribuan orang di Peru pada tahun 2000, demi untuk menunjukkan perlawanan atas kediktatoran Alberto Fujimori. Masih banyak lagi kisah-kisah lainnya yang menampilkan keberanian besar dari orang-orang yang mungkin namanya tidak tercatat dalam narasi besar. Namun memberikan angin segar bagi diskursus mengenai perlawanan sipil.   
Buku ini terdiri dari 80 kisah nyata perlawanan yang dimulai dari orang, kumpulan orang, kelompok maupun kumpulan kelompok dari hampir seluruh belahan dunia. Setiap ceritanya ingin menunjukkan bahwa banyak perubahan besar yang terjadi di dunia justru dimulai dari tindakan-tindakan kecil yang pada awalnya mungkin terlihat amat sepele atau bahkan tidak ada apa-apanya, namun setelah dilakukan dengan keyakinan dan rasa kemanusiaan, maka dampak yang dibawanya sungguh menakjubkan.
80 kisah tadi dikelompokkan kedalam 15 sub-bab : Kekuatan orang banyak, Mengecoh maksud sebenarnya, memanfaatkan peluang olahraga, mengelabui lembaga sensor, menjegal para rampok suara, perempuan bilang’tidak’, jika tidak sekarag ‘kapan?’, membongkar rahasia, kehidupan pribadi dampak publik, mengerahkan para saksi, mengorganisir kesenian, demi tegaknya hukum, ketika tembok kokoh roboh, kekuatan satu orag dan Pembangkangan digital. Semua kisah tadi meramu sebuah keyakinan bahwa perlawanan rakyat sampai kapanpun akan terus hadir selama ketidakadilan ada.
Yang unik dari buku ini adalah edisi bahasa Indonesia nya diterjemahkan oleh seorang pengorganisir rakyat : Rome Topatimasang. Pengalaman Roem melakukan pengorganisiran dan pendidikan kerakyatan di seluruh antero nusantara selama hampir dalam kurun waktu 30 tahun, membuat saya sebagai pembaca merasakan bahwa setiap kata yang ia pilih sebagai bagian dari penerjemahan adalah bahasa-bahasa perlawanan. Ia mampu membuat buku ini, begitu ringan untuk dipahami substansi setiap ceritanya.
Satu bab yang paling menarik perhatian saya tentu saja adalah bab ‘Perempuan bilang tidak’. Kisah-kisah didalamnya menunjukkan bagaimana perempuan melakukan perlawanan dengan apapun, bahkan dengan ketubuhan mereka. Di Sudan bagian selatan misalnya, perempuan-perempuan disana  melancarkan aksi sexual abandoning (Penelantaran seksual), demi untuk menekan suami-suami mereka agar mau berunding dan menghentikan perang saudara yang sudah terjadi selama dua puluh tahun antara kawasan selatan dan kawasan utara, bahkan pemimpin gerakan tersebut-Samira Ahmed, juga berhasil membujuk para pekerja seks untuk tidak memberikan akses layanan seksual selama aksi terjadi. Alhasil  akibat kampanye ini, para laki-laki disana menyerah dan mau melakukan perundingan untuk berdamai. Di Kenya, terjadi perlawanan yang serupa sex strike , untuk mendesak perdamaian antara dua kubu politik terbesar disana , yaitu Perdana menteri Raile Odinga dan Presiden Mwai Kibaki. Gerakan ini sempat menuai protes dari kalangan laki-laki, James Kimondo berencana ingin menuntut organisasi perempuan yang menggawangi aksi ini, dia manyatakan bahwa sex strike sudah menyebabkan tekanan mental, sakit punggung dan kegelisahan yang luar biasa bagi para laki-laki. Kaum perempuan tentu saja bukan menganggap sex sebagai sesuatu yang tidak penting, namun justru karna mereka menyadari bahwa sex adalah penting, dan tidak memandang kepentingan politik, agama, suku, maupun ras, sehingga sex adalah kekuatan. Maka menahan untuk tidak melakukan sesuatu yang fitrah adalah jua bentuk jihad untuk sebuah tujuan mulia.
Buku ini sangat menarik untuk dibaca, terutama bagi kalangan anak muda yang kadang terjebak dalam romantisme gerakan-gerakan besar, yang sifatnya melulu soal massa dan kuantitasnya. Buku ini mengajak kita melihat lebih lekat, bentuk-bentuk perlawanan yang sangat patut untuk diilhami dan dijadikan panutan dalam metode perjuangan.



Review Buku : Panggilan Tanah Air





Judul Buku      : Panggilan Tanah Air
Penulis             : Noer Fauzi Rahman
Penerbit           : Prakarsa Desa
Tahun              : 2015
Tebal               : 122 h + xx

            Porak poranda adalah frasa yang pembaca akan banyak temui dalam buku ini, sebuah frasa yang paling tepat menggambarkan kondisi Tanah air Kekinian. Istilah yang menurut saya semacam buah pemikiran  dari perjalanan panjang Noer Fauzi sebagai Aktivis Agraria dan pendidik rakyat. Melalui ‘porak poranda’ ini , kita tida hanya diajak meratapi nasib ke-porak-poranda-an itu sendiri, melainkan panggilan paling hakiki untuk menjadi pandu tanah air.
            Buku yang tidak terlau tebal ini, begitu nyaman untuk dibaca oleh para pemula yang ingin mendalami isu agraria dan segala macam efek yang ditimbulkannya. Saat membaca ini, ada emosi intim yang terbangun, Penulis mampu memposisikan pembaca pun sebagai pengamat atau bahkan korban dari segala proses perubahan reorganisasi ruang. Gaya Bahasa yang mengalir serta kemampuan menyajikan data-data statistic yang maha ribet melalui satu dua kalimat sederhana juga menjadi salah satu kelebihan buku ini.  Buku ini memang terkesan santai dalam hal penyampaian- dengan lirik-lirik lagu, Link video, dan ringkasan-ringkasan karya pendukung- namun begitu serius secara substansi.
            Secara keseluruhan, buku ini mengangkat tema tanah air sebagai Kampung Halaman rakyat , bukan “Tanah air” sebagai imaji idea yang simbolik umum dan abstrak (xii). Penulis mengajak pembaca untuk memperhatikan kembali bagaimana proses reorganisasi ruang yang bertujuan meluaskan kapitalisme ekspansif melalui produksi komoditas global terjadi dalam kurun waktu tertentu. Pada akhirnya, apabila pembaca mampu mengimajinasikan cara-cara menjadi pandu tanah air dan mengabdi untuk yang memulihkan krisis sosial ekologi sebagai dampak dari aktivitas ini, maka buku ini bisa dikatakan berhasil.
Porak Poranda Tanah Airku.
            Pada bab II, penulis memberikan gambaran umum mengenai tanah air, yang berujung pada sebuah kesimpulan khas ‘ pora poranda’.  Bahwa setiap satu menit satu rumah tangga petani hilang berganti pekerjaan dari pertanian dan sekitar 0,25 hektar tanah  pertanian rakyat berubah menjadi lahan pertanian.  Ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan kuantitas ini, Yang pertama adalah  minat bekerja pada bidang pertanian yang semakin menipis, karna tidak adanya kepemilikan atas tanah dan juga hasrat untuk berpendidikan tinggi – yang cenderung ingin meninggalkan kampong halaman.  Yang kedua adalah Perpindahan masyarakat dari desa ke kota. Modernisasi adalah alasan utama, yang merubah pandangan masyarakat menjadi kota sentris, melihat kota sebagai harapan yang menjanjikan kesejahteraan. Pada akhirnya, penulis memang tidak terjebak untuk menjabarakan  kementerengan modernitas, ia lebih pada upaya untuk menjelaskan kedok dibaliknya, yaitu mengenai cara peluasan sistem-sistem produksi global-sebuah akomodasi atas nafsu kapitalisme. yang sebenarnya menjadi penyebab utama porak porandanya tanah air.
            Bab III diberi judul reorganisasi ruang. Disini penulis mencoba menjejalkan kepada pembaca, bahwa semua keporak porandaan tanah air, disebabkan oleh dua kata mistis ini. hasrat kapitalisme untuk mengakumulasi keuntungan, telah menyebabkan begitu banyak krisis sosial ekologis, kekerasan, perampasan dan perubahan tata guna tanah, serta perbudakan modern.
            Reorganisasi ruang sebagai sebuah proses pengaturan ulang atas ruang-ruang sumber daya, semata-mata bertujuan untuk melipatgandakan keuntungan. Tidak perduli berapa jumlah lahan pertanian yang dialih fungsikan untuk memprodukis komoditi global, atau privatisasi tanah dan sumber daya alam lainnya, pemisahan antara penghasil dan pemilik batan, serta eksploitasi tenaga kerja untuk memproduksi nilai tambah, semua hal ini halal dan sah dilakukan atas nama keuntungan.  Disinilah jahatnya kapitalisme mencengkeram sebagai sebuah sistem yang tak terelakkan adanya, tidak sedikit korban dari semua proses jahat ini. Noer fauzi menguraikan dengan detil bagaimana kapitalisme dapat se-menggurita ini. Pembaca mungkin tidak akan terkejut, ketika Negara yang diwakili oleh elit pemerintah nya, menjadi fasilitator utama bagi kerja-kerja kapitalisme. Melalui regulasi-regulasi , izin-izin, kebijakan , proyek pembangunan, dan istilah tekhnokrasi lainnya. Negara berhasil menjadi kaki tangan yang teladan proses pengguritaan ini. Rakyat harus puas berposisi sebagai korban yang tertindas. Begitula kira-kira.
                        Pada bab IV, Noer fauzi mengajak kita untuk memahami bagaimana mekanisme berkerjanya modal sebagai seuatu kekuatan pengubah tanah air. Ia memaparkan karakter pasar sebagai instrument kapitalisme yang dapat mengakumulasikan keuntungan melalui kemjuan tekhnologi, peningkatan produktivitas tenga kerja , serta efisiensi hubungan sosia dan pembagian kerja produksi dan sirkulasi barang (p.26). Kapitalisme yang begitu agresif ini, sebenarnya akan berujung pada creative destruction  (Harvey, 2006), dimana banyak hal yang pada akhirnya akan mati karna tidak dapat bertahan pada sistem ini, lalu kapitatalisme akan tampil sebagai pembaharu. Apa-apa saja yang tadinya hancur lebur, dibangun sesuatu yang baru , yang dapat lebih mendatangkan keuntungan. Maka tida heran, apabila kita kemudian melihat banyak industri dan sektor non kapitalistik yang harus berakhir menjadi objek reorganisasu ruang.
            Bab ini menjadi menarik, ketika penulis membawa pembaca untuk berjalan-jalan ke masa lalu, menjumpai para pemimpin bangsa yang nafas cita-citanya jauh dari kapitalisme. Soekarno, Moh.Hatta, Tan Malaka, Mochamad Tauhid,  justru sudah menegaskan fondasi ideologis untuk menghantam kapitalisme,  yaitu Pengaturan agrarian Nasional yang merupakan antitesa dari pengaturan agrargia versi colonial.  Namun, Sayangnya Indonesia belum bisa lepas dari ‘ kutukan kolonial’, yaitu ‘Indonesia menjadi pasar bagi penjualan produk negeri penjajah dan negeri luar, Indonesia menjadi tempat pengambilan bahan-bahan pokok bagi industri kapitalisme , dan Indonesia menjadi tempat investasi daripada modal-moda penjajah dan moda asing”.  Kutukan inilah yang mendapatkan tempat pada rezim orde baru, melalui praktek azas domein Negara. Di orde inilah, Indonesia mulai menjadi republic kapling, semata-mata untuk konsesi pertambangan, kehutanan, dan perkebunan. Negara secara serius tanpa tedeng aling, memainkan perannya sebagai kaki tangan kapitalisme, melalui instrument-insturmen hukum dan daya represi atas rakyat. Semua ini secara sempurna telah menjebak Indonesia pada lumpur kemiskinan dengan meng-alienasi rakyat dari sumber penghidupannya sendiri.
            Pada akhir bab ini, penulis mengklimaks-kan semuanya dengan reflective question, Bagaimana kita dapat membebaskan diri dari kutukan colonial  ini?. Sebuah pertanyaan yang menurut saya, sangat penting dan mendesak. Mengingat agresifitas kapitalisme yang semakin hari , semakin mengerikan. Jika kita tida berhasil menemukan cara membebaskan diri dari kutukan colonial, maka kita sudah menggali lubang kuburan untuk kehancuran tanah air kita ini.
            Bab V dalam buku ini, adalah pedoman yang bisa dirujuk untuk bisa keluar dari krisis sosial ekologi yang berkepanjangan akibat kutukan  colonial. Hal-hal yang disampaikan didalamnya adalah pemahaman baru atas tiga golongan masalah, agar kita dapat mengenali dan menangani krisis sosial ekologi, yang bertujuan untuk bebas dari kutukan colonial.  Yang pertama adalah Keselamatan dan kesejahteraan rakyat, Yang kedua adalah keutuhan fungsi-fungsi faal dalam hidup, dan Yang terkahir adalah Produktivitas rakyat.
            Pada bagian penutup, penulis kembali memanggil kita secara ideologis untuk menjadi pandu bagi tanah air.  Bahwa kita adalah ‘arus balik’ dari semua proses pemorak porandaan tanah air ini. Kita dengan segala daya dan upaya akan dapat memaknai keindonesiaan sejati kita,sebagai seorang penjaga ‘ibu sejati’.
Banyak filsuf yang mencoba menafsirkan dunia, tapai banyak yang lupa bagaimana cara mengubahnya
(Karl Marx)

                                                                        *Peneliti Pemula di Sajogyo Institue